Apakah manusia itu bebas dalam bertindak ataukah tidak? Itulah satu masalah yang sejak lama diperbincangkan oleh orang-orang sudah mulai bertanya-tanya tentang apakah sesungguhnya tujuan hidup manusia?
Mereka bertanya-tanya dari manakah asal manusia, ke manakah mereka akan pergi dan bagaimanakah yang disebut hidup yang benar? Maka banyaklah pertanyaan yang diajukan oleh mereka dan tetapi belum mendapatkan jawaban memuaskan penalaran, meskipun sekarang kita hidup pada zaman yang sudah demikian canggih ini.
Untuk mereka yang ingin mendapatkan informasi yang agak luas, agar mendapatkan jawaban yang memuaskan harus berani mencoba mengenal ajaran para suci yang dalam dunia Muslim dikenal dengan para Sufi yaitu kelompok orang yang mempelajari dan menjalani ajaran Tasauf atau Tarekat atau juga ajaran Ma’rifat. Antara lain adalah Imam al Ghazali, Ibnu Arabi, Al Jilli, Jalaluddin Rumi dan banyak lagi
Pada kesempatan yang baik ini kita coba dulu dengan menjawab pertanyaan mengenai asal-usul manusia. Bagi umat awam sudah ada jawaban yang memuaskan mereka bahwa asal manusia itu adalah dari Adam, tetapi tentunya Anda belum puas bukan ?
Marilah kita membuka kitab suci Al Quran dan kita baca ayat 28 pada surat Al Baqarah
“Mengapa kamu belum beriman pada Allah, padahal dulu nya kamu mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian dimatikan dan dihidupkannya kembali, lalu kepada-Nyalah kamu dikembalikan”
Sebelum penulis melanjutkan dengan pembahasan ini, ingin penulis sampaikan kata-kata seorang mubaligh bahwa sebagian orang Indonesia kini (dalam masalah keagamaan) malas untuk berpikir dan lebih enak mengikuti saja apa-apa yang difatwakan para ulama.
Nah kita coba keluar dari apa yang disayangkan oleh sang mubaligh itu. Kita coba menggunakan penalaran netral.
Pada umumnya para ulama atau orang-orang menafsirkan kalimat “padahal dulunya kamu mati“ itu sebagai “tadinya kamu belum ada” ataupun tadinya “masih dalam rahim ibu” ataupun lagi mengatakan masih berwujud “segumpal darah“ dan sebagainya.
Nah itulah penafsiran yang pada umumnya masih berlaku pada saat ini. Padahal bila kita berpegang pada ayat-ayat yang lain dan berpandangan terbuka dan terus terang, secara jujur dan tidak membelok-belokan penafsiran, maka kalimat “dahulunya kamu mati” tentunya berarti “setelah seseorang hidup berjasmani dan setelah tua lalu mati” mati seperti pada umumnya orang mati di dunia ini, yang lalu Jiwa atau Ruhnya naik ke alam kubur atau alam barzakh atau alam penantian atau juga alam api pencucian”.
Mereka bertanya-tanya dari manakah asal manusia, ke manakah mereka akan pergi dan bagaimanakah yang disebut hidup yang benar? Maka banyaklah pertanyaan yang diajukan oleh mereka dan tetapi belum mendapatkan jawaban memuaskan penalaran, meskipun sekarang kita hidup pada zaman yang sudah demikian canggih ini.
Untuk mereka yang ingin mendapatkan informasi yang agak luas, agar mendapatkan jawaban yang memuaskan harus berani mencoba mengenal ajaran para suci yang dalam dunia Muslim dikenal dengan para Sufi yaitu kelompok orang yang mempelajari dan menjalani ajaran Tasauf atau Tarekat atau juga ajaran Ma’rifat. Antara lain adalah Imam al Ghazali, Ibnu Arabi, Al Jilli, Jalaluddin Rumi dan banyak lagi
Pada kesempatan yang baik ini kita coba dulu dengan menjawab pertanyaan mengenai asal-usul manusia. Bagi umat awam sudah ada jawaban yang memuaskan mereka bahwa asal manusia itu adalah dari Adam, tetapi tentunya Anda belum puas bukan ?
Marilah kita membuka kitab suci Al Quran dan kita baca ayat 28 pada surat Al Baqarah
“Mengapa kamu belum beriman pada Allah, padahal dulu nya kamu mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian dimatikan dan dihidupkannya kembali, lalu kepada-Nyalah kamu dikembalikan”
Sebelum penulis melanjutkan dengan pembahasan ini, ingin penulis sampaikan kata-kata seorang mubaligh bahwa sebagian orang Indonesia kini (dalam masalah keagamaan) malas untuk berpikir dan lebih enak mengikuti saja apa-apa yang difatwakan para ulama.
Nah kita coba keluar dari apa yang disayangkan oleh sang mubaligh itu. Kita coba menggunakan penalaran netral.
Pada umumnya para ulama atau orang-orang menafsirkan kalimat “padahal dulunya kamu mati“ itu sebagai “tadinya kamu belum ada” ataupun tadinya “masih dalam rahim ibu” ataupun lagi mengatakan masih berwujud “segumpal darah“ dan sebagainya.
Nah itulah penafsiran yang pada umumnya masih berlaku pada saat ini. Padahal bila kita berpegang pada ayat-ayat yang lain dan berpandangan terbuka dan terus terang, secara jujur dan tidak membelok-belokan penafsiran, maka kalimat “dahulunya kamu mati” tentunya berarti “setelah seseorang hidup berjasmani dan setelah tua lalu mati” mati seperti pada umumnya orang mati di dunia ini, yang lalu Jiwa atau Ruhnya naik ke alam kubur atau alam barzakh atau alam penantian atau juga alam api pencucian”.
Nah kalau ditelusuri lagi maka berarti sebelum kita mati kita ini hidup sebagai manusia karena sekarang kita hidup sebagai manusia, dengan demikian kita ini sudah pernah hidup sebagai manusia juga entah hidup dimana, di negara mana, sebagai bangsa apa dengan ibu-bapak siapa. Tetapi bagi beberapa orang tertentu yang sudah mampu bersamadi atau berkontemplasi, mereka mampu melihat catatan akasha/akasha record, melihat sejarah dirinya yang tercatat dalam jiwanya, kapan dan dimana sebagai apa laki-atau wanita dst. Maka bila ditelusuri lagi maka hidup sekarang adalah “mengulangi hidup” dari hidup yang dahulu kita tinggalkan itu. Dan karena ayat selanjutnya adalah ‘kemudian kamu dihidupkan kembali” berarti setelah kita mati nanti, kita akan dihidupkan kem bali atau istilah lain adalah kebangkitan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat 5 Al Hajj, yaitu dengan apa yang dinamakan “kebangkitan/kiamat sugra” yang tentunya secara penalaran adalah jiwa kita yang diberi badan jasmani lagi agar meneruskan usaha menyempurnakan diri. Ajaran kebangkitan ini sebagian besar orang-orang belum mengerti dan meyakininya karena melupakan apa yang dikatakan atau disampaikan oleh Nabi Muhammad Rasulnya umat Islam :
“Tidak dibangkitkan daku ke muka bumi kecuali bertugas menyempurnakan akhlak/budi pekerti umat manusia “
Jadi tugas beliau adalah mengajar dan mendidik umat manusia agar pada akhirnya menjadi manusia sempurna. Manusia sempurna bagi umat Muhammad adalah seperti dicontohkan oleh Muhammad sendiri, diteladani.
Bila hadits tersebut mengatakan “dibangkitkan daku…” maka artinya sejak Nabi Muhammad dilahirkan adalah sama dengan kehidupan kita sekarang yang dilahirkan oleh ibunda kita masing-masing, jadi dilahirkan sama dengan dibangkitkan.
Disinilah kelebihan ajaran “Kebangkitan” Islam dengan ajaran “Reikarnasi” yang artinya “kembali mempunyai daging/jasmani” yang maksudnya kembali dihidupkan ke muka bumi melalui rahim ibu. Kata kebangkitan itu lebih bernada positif dari reinkarnasi. Karena pada saat ini masih ada ajaran reinkarnasi yang penafsirannya jiwa orang atau manusia itu bisa dilahirkan kembali dengan mengambil bentuk sebagai hewan atau tetumbuhan. Padahal ini hanyalah metode penafsiran untuk menakut-nakuti agar dalam kehidupan sekarang tidak berbuat banyak kejahatan (yang nantinya konon dihukum menjadi hewan atau tumbuhan, itu satu kemunduran)
Yang sebenarnya menurut hukum Evolusi, adalah bila satu makhluk telah menjadi manusia, maka ia tetap akan menjadi manusia dan bahkan jiwanya bangkit akan meningkat lebih tinggi lagi agar menjadi suci dan sempurna dan layak pulang kembali ke hadlirat Allah. Inna Illaihi rajiun
Sedangkan kata “kebangkitan’ mempunyai arti yang lebih positif ialah “jiwa’ seseorang itu setelah berada di alam barzah menurut ketetapan Allah “dibangkitkan” kembali melalui rahim ibu untuk belajar lagi guna mencapai “akhlak yang sempurna” sebagaimana tugas yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad dan juga kepada para Nabi yang lain. Jadi jiwa seseorang manusia itu dibangkitkan atau dilahirkan berluang kali kembali adalah agar mengembangkan potensi dirinya agar tumbuh mencapai akhlak sempurna, sebagaimana dilantunkan dalam lagu Indonesia Raya “bangkitlah jiwanya .. bangunlah badannya…….”
Agaknya cukup kita membahas masalah ayat yang mengatakan “padahal dulunya kamu mati”. Sekarang kita membahas penafsiran ulama yang mengatakan artinya sebagai “tidak ada”. Ini memang satu penafsiran yang pas untuk manusia di zaman jahiliyah/kebodohan pada saat itu dan tidak cocok dengan selera orang-orang sufi yang menganggap jiwa manusia itu datang melalui proses yang sangat panjang dan lama dari langit atau alam pertama, alam Ahadiyah hingga alam dunia sekarang atau alam Nasut dimana kita dibangkitkan melalui rahim ibu kita. Mereka para sufi itu memandang ayat suci : “Inna Lillahi Wa Inna Illaihi Rajiun” sebagai ayat dasar untuk menjawab masalah tentang asal-usul manusia, bahkan seluruh makhluk-Nya. Ayat mana oleh sebagian kalangan ditafsirkan sebagai berikut “sesungguhnya apa yang dinamakan manusia itu adalah makhluk spiritual yang datang dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan” jadi ada proses perjalanan datang dan pergi, turun dan naik, maka ada jalan turun dan ada jalan naik yang di zaman ini telah ditemukan satu kata Involusi/Emanasi dan Evolusi.
Emanasi adalah jalan turun ialah proses yang panjang dan lama dari alam pertama ke alam ke tujuh dimana sekarang kita hidup, yaitu proses materialisasi dari alam Illahiah menuju alam jasmaniah menjadi terbentuknya zat-zat di dalam bumi sebagai cikal bakal pembentukan makhluk-makhluk yang kemudian muncul setelah bumi memenuhi syarat bagi adanya kehidupan di permukaannya.
Setelah terbentuk zat-zat di dalam bumi, maka proses pembentukan makhluk atau proses Evolusi dimulai yaitu dimulai dari benda tambang/mineral naik ke tingkat tumbuh-tumbuhan, ke tingkat hewan dan akhirnya insan kamil/manusia sempurna bentuk jasmaninya (jiwanya belum sempurna dan perlu ulangan hidup yang banyak agar tercapai target yang dikehendaki oleh hadits Nabi seperti dikutip di muka)
Di sini jelas bahwa para makhluk itu … takdirnya … sebelum meningkat ke alam manusia….belum diberi kemampuan untuk memilih dan memilah. Karena belum diberi akal untuk berpikir, belum mampu memilih berkehendak bebas ataukah tidak!
Jadi yang dinamakan Evolusi adalah hukum atau sistem Illahiah yang berfungsi di seluruh alam semesta raya, guna membimbing seluruh makhluk agar membentangkan potensi Illahiahnya masing-masing sebagai makhluk-makhluk-Nya. Yaitu makhluk yang teremanasi/terpancar/ berasal dari Satu- Satunya Tuhan Yang Maha Illahiah itu.
Dengan itu pula ajaran para Sufi mengatakan pada kita bahwa setiap makhluk apakah itu atom-atom, mineral/benda tambang, hewan-hewan, manusia, bintang-bintang di langit, kesemuanya yang berada di alam semesta itu adalah untuk membentangkan potensi Illahiahnya masing-masing. Potensi Illahiah ini terkandung di dalam diri setiap makhluk, karena masing-masing bersumber dari Satu-Satunya Sumber Yang Maha Tunggal itu. Sang Absolut. Nah potensi Illahi yang terdapat dalam diri manusia itulah yang dinamakan percikan Tuhan/pletik Illahi/Ruh manusia. “… setelah Kusempurnakan kejadiannya maka Kuhembuskanlah Ruh-Ku …..” Dan manusiapun menjawab…Inna Lillahi Wa Inna Illaihi Rajiun….. demikianlah ayat suci dalam al Quran mengatakan.
Ayat-ayat tersebut diinterpretasikan Sang Nabi … Qolabul Insan baitur rahim …. Jantung kolbu manusia adalah rumah Tuhan … Man arofah nafsahu faqod arofah Rabbahu … Barang siapa mengenal dirinya maka pastilah dia akan mengenal pula Tuhan-Nya …. Al Insanu sirri wa Ana Sirruhu … Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya. Umat Kristen mengatakannya sebagai berikut : “Tidak tahukah kamu bahwa kamu adalah Bait Allah dan bahwa Ruh Allah berdiam di dalam kamu, sebab Bait Allah Kudus dan Bait Allah adalah kamu. Kita adalah rumah Allah yang hidup.“ ( Kor. 3 : 16-17 )
Dalam Hinduisme dikatakan bahwa di dalam diri manusia bersemayam Atman. Atman bersifat kekal, tidak berawal dan berakhir berasal dari Brahman. Barang siapa yang menyadari akan kenyataan yang mendalam ini pasti akan hidup tenang dan damai. (Bhagavad Gita)
Demikianlah antara lain TAKDIR yang berlaku atas diri manusia. Makhluk yang setelah menjalani proses panjang Evolusi meningkat menjadi manusia yang sempurna jasmaninya/bentuk tubuhnya, tetapi jiwanya sebagai pletik
Illahi harus ditumbuh-kembangkan sendiri, diberinya Akal agar dapat memilih jalan lurus yang benar atau sebaliknya, karena Allah mempersilakan agar setiap orang memilih satu di antara dua jalan yang disediakan sebagaimana ayat :
“Bukankah kami telah memberikan dua mata, lidah dan dua bibir. Dan telah menunjukkan kepadanya dua jalan? (untuk dipilih jalan mana yang benar)" Al Balad ayat 8-10
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan lurus (yang harus dipilihnya) ada kalanya manusia itu bersyukur dan ada kalanya pula ia kufur “ Al Insaan ayat 3.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus menghadap kepada Agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tak ada peru bahan pada fitrah Allah. (itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan orang belum mengetahuinya “ Ar Ruum 30.
Yang dimaksud fitrah adalah karena manusia itu adalah pletik Illahi maka selalu cenderung untuk melakukan kebenaran yang hak. Dan Islam adalah agama fitrah yang artinya cocok dengan kecenderungan manusia itu. Inna lillahi wa inna lllaihi rajiun.
Nah apabila manusia akan menggunakan kebebasannya yang positif yang sesuai dengan fitrah, maka dia harus memilih jalan yang lurus, agar tidak masuk ke dalam jurang penderitaan. Karena memang setiap pilihan ada sanksinya, sehingga dengan pilihan yang positif itu ia dengan cara bertahap atau berangsur-angsur meningkat ke arah kesucian dan akhirnya kesempurnaan, dan layak untuk masuk naik ke alam Malakut dimana para makhluk atau manusia suci berada. (karena dia juga sudah suci)
Kembali pada ajaran Sufi bahwa manusia adalah satu di antara banyak makhluk yang berasal dari-Nya, maka bila kita pernah membaca dan merenungkan filsafat perenial akan kita yakini bahwa ada Yang Absolut di balik alam ini
Alam ini hanyalah manifestasi/pembabaran dari Yang Absolut. Sementara itu eksistensi dari alam raya itupun bertingkat mulai dari Tuhan di alam Ahadiyah hingga kepada makhluk-makhluk di alam jasmaniah. Dipandang dari tingkat-tingkat ini maka agama sebagai jalan yang lurus adalah sangat penting bagi manusia di dalam menempuh perjalanan pulang ke hadlirat-Nya. Inna Illaihi rajiun
Agaknya dalam setiap agama mengajarkan hal yang sama untuk menaikkan kesadaran hingga mencapai titik tertentu, yang dalam Islam adalah peningkatan dari yang Syariah kepada thariqah, naik kepada hakikah dan akhirnya ma’rifah. Setiap agama mempunyai metode sendiri yang harus diikuti oleh umatnya. Misalnya umat Hindu dalam Bhagavad Gita mengenal 18 jalan yang diantaranya ada empat yang banyak digunakan. Ada Karma Yoga, ada Bhakti Yoga ada Jnana Yoga ada Raja Yoga dan Mantra Yoga. Yoga itu artinya persatuan dengan pribadi luhur manusia yang ada dalam diri sendiri.
Dengan penjelasan tersebut maka agama bisa dipandang dari dua sudut. Dari atas yang Illahi sebagai “asal dari yang illahi/Inna Iillahi “ (Divine Origin) dan dari segi kemanusiaan sebagai jalan. “Jalan“ kembali pada Tuhan/Inna Illaihi rajiun. Jadi ada Jalan turun dan Jalan naik atau Pavriti marga dan Nivriti marga dalam Hinduisme yang dalam tradisi Islam dirangkai menjadi kalimat yang indah “Inna Lillahi Wa Inna Illaihi Rajiun. Dengan itu sangat jelas bahwa Tuhan adalah asal dan tujuan akhir dari semua manusia bahkan semua makhluk. Yang dalam filsafat Jawa terkenal dengan ungkapan “sangkan paraning dumadi”
Akhirnya adanya kenaikan eksistensi tersebut digambarkan oleh Jalaluddin Rumi dengan indahnya. Sebagai hasil dari samadinya yang dalam. Mari kita renungkan !
Bila kumati gugur ke bumi
Ujud menjelma menjadi rumput
Dari rumput menjelma hewan
Mati hewan Insanku timbul
Apa kutakut kepada maut ?
Setelah cukup genap bilangan
Tujuh ratus tujuh puluh tubuh
Terhempas di muka bumi
Nyawa melayang ke “Rahmat Allah”
Di baris malaikat penjaga alam
Perjalananku kan terus menuju Dia
Semua binasa kecuali Dia
Aku pun Fanaa
laksana suara kecapi
Nyanyianku hilang ke dalam baqa
“Inna Illaihi rajiun”
Semua kita kepada-Nya akan kembali
“Tidak dibangkitkan daku ke muka bumi kecuali bertugas menyempurnakan akhlak/budi pekerti umat manusia “
Jadi tugas beliau adalah mengajar dan mendidik umat manusia agar pada akhirnya menjadi manusia sempurna. Manusia sempurna bagi umat Muhammad adalah seperti dicontohkan oleh Muhammad sendiri, diteladani.
Bila hadits tersebut mengatakan “dibangkitkan daku…” maka artinya sejak Nabi Muhammad dilahirkan adalah sama dengan kehidupan kita sekarang yang dilahirkan oleh ibunda kita masing-masing, jadi dilahirkan sama dengan dibangkitkan.
Disinilah kelebihan ajaran “Kebangkitan” Islam dengan ajaran “Reikarnasi” yang artinya “kembali mempunyai daging/jasmani” yang maksudnya kembali dihidupkan ke muka bumi melalui rahim ibu. Kata kebangkitan itu lebih bernada positif dari reinkarnasi. Karena pada saat ini masih ada ajaran reinkarnasi yang penafsirannya jiwa orang atau manusia itu bisa dilahirkan kembali dengan mengambil bentuk sebagai hewan atau tetumbuhan. Padahal ini hanyalah metode penafsiran untuk menakut-nakuti agar dalam kehidupan sekarang tidak berbuat banyak kejahatan (yang nantinya konon dihukum menjadi hewan atau tumbuhan, itu satu kemunduran)
Yang sebenarnya menurut hukum Evolusi, adalah bila satu makhluk telah menjadi manusia, maka ia tetap akan menjadi manusia dan bahkan jiwanya bangkit akan meningkat lebih tinggi lagi agar menjadi suci dan sempurna dan layak pulang kembali ke hadlirat Allah. Inna Illaihi rajiun
Sedangkan kata “kebangkitan’ mempunyai arti yang lebih positif ialah “jiwa’ seseorang itu setelah berada di alam barzah menurut ketetapan Allah “dibangkitkan” kembali melalui rahim ibu untuk belajar lagi guna mencapai “akhlak yang sempurna” sebagaimana tugas yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad dan juga kepada para Nabi yang lain. Jadi jiwa seseorang manusia itu dibangkitkan atau dilahirkan berluang kali kembali adalah agar mengembangkan potensi dirinya agar tumbuh mencapai akhlak sempurna, sebagaimana dilantunkan dalam lagu Indonesia Raya “bangkitlah jiwanya .. bangunlah badannya…….”
Agaknya cukup kita membahas masalah ayat yang mengatakan “padahal dulunya kamu mati”. Sekarang kita membahas penafsiran ulama yang mengatakan artinya sebagai “tidak ada”. Ini memang satu penafsiran yang pas untuk manusia di zaman jahiliyah/kebodohan pada saat itu dan tidak cocok dengan selera orang-orang sufi yang menganggap jiwa manusia itu datang melalui proses yang sangat panjang dan lama dari langit atau alam pertama, alam Ahadiyah hingga alam dunia sekarang atau alam Nasut dimana kita dibangkitkan melalui rahim ibu kita. Mereka para sufi itu memandang ayat suci : “Inna Lillahi Wa Inna Illaihi Rajiun” sebagai ayat dasar untuk menjawab masalah tentang asal-usul manusia, bahkan seluruh makhluk-Nya. Ayat mana oleh sebagian kalangan ditafsirkan sebagai berikut “sesungguhnya apa yang dinamakan manusia itu adalah makhluk spiritual yang datang dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan” jadi ada proses perjalanan datang dan pergi, turun dan naik, maka ada jalan turun dan ada jalan naik yang di zaman ini telah ditemukan satu kata Involusi/Emanasi dan Evolusi.
Emanasi adalah jalan turun ialah proses yang panjang dan lama dari alam pertama ke alam ke tujuh dimana sekarang kita hidup, yaitu proses materialisasi dari alam Illahiah menuju alam jasmaniah menjadi terbentuknya zat-zat di dalam bumi sebagai cikal bakal pembentukan makhluk-makhluk yang kemudian muncul setelah bumi memenuhi syarat bagi adanya kehidupan di permukaannya.
Setelah terbentuk zat-zat di dalam bumi, maka proses pembentukan makhluk atau proses Evolusi dimulai yaitu dimulai dari benda tambang/mineral naik ke tingkat tumbuh-tumbuhan, ke tingkat hewan dan akhirnya insan kamil/manusia sempurna bentuk jasmaninya (jiwanya belum sempurna dan perlu ulangan hidup yang banyak agar tercapai target yang dikehendaki oleh hadits Nabi seperti dikutip di muka)
Di sini jelas bahwa para makhluk itu … takdirnya … sebelum meningkat ke alam manusia….belum diberi kemampuan untuk memilih dan memilah. Karena belum diberi akal untuk berpikir, belum mampu memilih berkehendak bebas ataukah tidak!
Jadi yang dinamakan Evolusi adalah hukum atau sistem Illahiah yang berfungsi di seluruh alam semesta raya, guna membimbing seluruh makhluk agar membentangkan potensi Illahiahnya masing-masing sebagai makhluk-makhluk-Nya. Yaitu makhluk yang teremanasi/terpancar/ berasal dari Satu- Satunya Tuhan Yang Maha Illahiah itu.
Dengan itu pula ajaran para Sufi mengatakan pada kita bahwa setiap makhluk apakah itu atom-atom, mineral/benda tambang, hewan-hewan, manusia, bintang-bintang di langit, kesemuanya yang berada di alam semesta itu adalah untuk membentangkan potensi Illahiahnya masing-masing. Potensi Illahiah ini terkandung di dalam diri setiap makhluk, karena masing-masing bersumber dari Satu-Satunya Sumber Yang Maha Tunggal itu. Sang Absolut. Nah potensi Illahi yang terdapat dalam diri manusia itulah yang dinamakan percikan Tuhan/pletik Illahi/Ruh manusia. “… setelah Kusempurnakan kejadiannya maka Kuhembuskanlah Ruh-Ku …..” Dan manusiapun menjawab…Inna Lillahi Wa Inna Illaihi Rajiun….. demikianlah ayat suci dalam al Quran mengatakan.
Ayat-ayat tersebut diinterpretasikan Sang Nabi … Qolabul Insan baitur rahim …. Jantung kolbu manusia adalah rumah Tuhan … Man arofah nafsahu faqod arofah Rabbahu … Barang siapa mengenal dirinya maka pastilah dia akan mengenal pula Tuhan-Nya …. Al Insanu sirri wa Ana Sirruhu … Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya. Umat Kristen mengatakannya sebagai berikut : “Tidak tahukah kamu bahwa kamu adalah Bait Allah dan bahwa Ruh Allah berdiam di dalam kamu, sebab Bait Allah Kudus dan Bait Allah adalah kamu. Kita adalah rumah Allah yang hidup.“ ( Kor. 3 : 16-17 )
Dalam Hinduisme dikatakan bahwa di dalam diri manusia bersemayam Atman. Atman bersifat kekal, tidak berawal dan berakhir berasal dari Brahman. Barang siapa yang menyadari akan kenyataan yang mendalam ini pasti akan hidup tenang dan damai. (Bhagavad Gita)
Demikianlah antara lain TAKDIR yang berlaku atas diri manusia. Makhluk yang setelah menjalani proses panjang Evolusi meningkat menjadi manusia yang sempurna jasmaninya/bentuk tubuhnya, tetapi jiwanya sebagai pletik
Illahi harus ditumbuh-kembangkan sendiri, diberinya Akal agar dapat memilih jalan lurus yang benar atau sebaliknya, karena Allah mempersilakan agar setiap orang memilih satu di antara dua jalan yang disediakan sebagaimana ayat :
“Bukankah kami telah memberikan dua mata, lidah dan dua bibir. Dan telah menunjukkan kepadanya dua jalan? (untuk dipilih jalan mana yang benar)" Al Balad ayat 8-10
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan lurus (yang harus dipilihnya) ada kalanya manusia itu bersyukur dan ada kalanya pula ia kufur “ Al Insaan ayat 3.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus menghadap kepada Agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tak ada peru bahan pada fitrah Allah. (itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan orang belum mengetahuinya “ Ar Ruum 30.
Yang dimaksud fitrah adalah karena manusia itu adalah pletik Illahi maka selalu cenderung untuk melakukan kebenaran yang hak. Dan Islam adalah agama fitrah yang artinya cocok dengan kecenderungan manusia itu. Inna lillahi wa inna lllaihi rajiun.
Nah apabila manusia akan menggunakan kebebasannya yang positif yang sesuai dengan fitrah, maka dia harus memilih jalan yang lurus, agar tidak masuk ke dalam jurang penderitaan. Karena memang setiap pilihan ada sanksinya, sehingga dengan pilihan yang positif itu ia dengan cara bertahap atau berangsur-angsur meningkat ke arah kesucian dan akhirnya kesempurnaan, dan layak untuk masuk naik ke alam Malakut dimana para makhluk atau manusia suci berada. (karena dia juga sudah suci)
Kembali pada ajaran Sufi bahwa manusia adalah satu di antara banyak makhluk yang berasal dari-Nya, maka bila kita pernah membaca dan merenungkan filsafat perenial akan kita yakini bahwa ada Yang Absolut di balik alam ini
Alam ini hanyalah manifestasi/pembabaran dari Yang Absolut. Sementara itu eksistensi dari alam raya itupun bertingkat mulai dari Tuhan di alam Ahadiyah hingga kepada makhluk-makhluk di alam jasmaniah. Dipandang dari tingkat-tingkat ini maka agama sebagai jalan yang lurus adalah sangat penting bagi manusia di dalam menempuh perjalanan pulang ke hadlirat-Nya. Inna Illaihi rajiun
Agaknya dalam setiap agama mengajarkan hal yang sama untuk menaikkan kesadaran hingga mencapai titik tertentu, yang dalam Islam adalah peningkatan dari yang Syariah kepada thariqah, naik kepada hakikah dan akhirnya ma’rifah. Setiap agama mempunyai metode sendiri yang harus diikuti oleh umatnya. Misalnya umat Hindu dalam Bhagavad Gita mengenal 18 jalan yang diantaranya ada empat yang banyak digunakan. Ada Karma Yoga, ada Bhakti Yoga ada Jnana Yoga ada Raja Yoga dan Mantra Yoga. Yoga itu artinya persatuan dengan pribadi luhur manusia yang ada dalam diri sendiri.
Dengan penjelasan tersebut maka agama bisa dipandang dari dua sudut. Dari atas yang Illahi sebagai “asal dari yang illahi/Inna Iillahi “ (Divine Origin) dan dari segi kemanusiaan sebagai jalan. “Jalan“ kembali pada Tuhan/Inna Illaihi rajiun. Jadi ada Jalan turun dan Jalan naik atau Pavriti marga dan Nivriti marga dalam Hinduisme yang dalam tradisi Islam dirangkai menjadi kalimat yang indah “Inna Lillahi Wa Inna Illaihi Rajiun. Dengan itu sangat jelas bahwa Tuhan adalah asal dan tujuan akhir dari semua manusia bahkan semua makhluk. Yang dalam filsafat Jawa terkenal dengan ungkapan “sangkan paraning dumadi”
Akhirnya adanya kenaikan eksistensi tersebut digambarkan oleh Jalaluddin Rumi dengan indahnya. Sebagai hasil dari samadinya yang dalam. Mari kita renungkan !
Bila kumati gugur ke bumi
Ujud menjelma menjadi rumput
Dari rumput menjelma hewan
Mati hewan Insanku timbul
Apa kutakut kepada maut ?
Setelah cukup genap bilangan
Tujuh ratus tujuh puluh tubuh
Terhempas di muka bumi
Nyawa melayang ke “Rahmat Allah”
Di baris malaikat penjaga alam
Perjalananku kan terus menuju Dia
Semua binasa kecuali Dia
Aku pun Fanaa
laksana suara kecapi
Nyanyianku hilang ke dalam baqa
“Inna Illaihi rajiun”
Semua kita kepada-Nya akan kembali
Jalaluddin menambahkan di hadapan kita bersandarlah tangga (agama Islam/sulama/jenjang untuk naik). Dahulunya kita adalah materi yang membeku setelah itu naik ke alam tetumbuhan naik lagi ke alam hewan. Bagaimana hal itu akan tersembunyi bagi pandanganku. Setelah itupun engkau naik menjadi Insan kamil, yang diberi anugerah Akal, Iman dan Ilmu. Perhatikanlah betapa indahnya perjalanan kenaikan tingkat-tingkat yang telah kau lalui. Dan tak dapat tidak kau akan meningkat ke alam Malakut menjadi sederajad dengan para Malaikat.
Lalu kau akan meninggalkan bumi ini untuk kembali ke langit. Dan akhirnya pun akan engkau tinggalkan pula alam Malakut itu, lalu menyelam ke dalam lautan Hakikat wujud agar percikan air pemandianmu menjadi 100 lautan.
Sudut pandang ini bukanlah hal yang asing dalam filsafat tradisi. Hampir di semua ajaran Sufi, Tao, Kabala, Gnostik Kristen, Buddhisme, Hinduisme mengajarkannya dengan metode yang sesuai. Dalam masyarakat barat pun agaknya masih dapat ditemukan jejak-jejaknya dalam tradisi yang mewarisi filsafat Neo Platonisme, walaupun secara keseluruhan sudut pandang ini dalam filsafat Barat sebagai hal yang aneh dan asing. Akhirnya marilah kita gunakan kebebasan agar dapat pulang ke Sumber.@
0 komentar:
Posting Komentar