Dalam panggung sejarah dunia telah bermunculan dan juga tenggelamnya bermacam-macam peradaban, sistem paham agama, aliran, perhimpunan, kepercayaan, paguyuban, yang bertujuan baik yaitu pengembangan ide-ide baik kepada penganutnya dan juga gagasan-gagasan yang bisa meringankan dalam menghadapi perjuangan hidup. Cara pengembangan dan penyampaian materi bahasan sangat dipengaruhi oleh tempat, waktu juga kondisi mental maupun moral para pemukanya.
Untuk komunitas yang belum maju pada masalah spiritual dibutuhkan cara-cara kasar melalui intimidasi, ditakut-takuti kalau perlu dengan teror-teror mental untuk menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruk dan iming-iming adanya keadaan yang penuh kenikmatan setelah kematian, agar mau berbuat baik sehingga kadang-kadang sampai kebablasan dalam memberi pengarahan bahwa keadaan buruk maupun baik sesudah kematian bisa berlangsung untuk selamanya. Dan para pendengarnya banyak yang manggut-manggut agar dianggap mengerti terhadap uraian yang disampaikan.
Tidak menyadari bahwa dengan manggut-manggut kepala berarti telah menunjukkan kekurangpengertiannya. Sikap yang tepat sebetulnya adalah dengan mengajukan pertanyaan: Kalau hidup hanya paling lama seratus tahun, harus menderita selamanya sesudah kematian, apakah itu adil? atau dengan pertanyaan : Apakah keadaan yang demikian tidak bertolak belakang dengan sifat Sang Maha Pengasih dan Penyayang? ataukah ada maksud lain dari manggut-manggut tadi umpama saja agar si pembicara merasa puas dan berbangga diri bahwa uraiannya mendapat sambutan positif. Mungkin juga berpendapat apa ruginya sih membikin orang senang orang lain? Daripada mendapat stempel sebagai orang yang suka usil.
Pada kelompok ini yang masih menyukai getaran-getaran yang belum halus, masih memerlukan gerakan-gerakan tubuh dan suara-suara sebagai pendorong semangat dalam pelaksanaan ritual-ritualnya. Tidak mengingat bahwa suara-suara yang diperdengarkan melalui pengeras suara akan mengganggu mereka yang sedang sakit, membutuhkan banyak istirahat dan ketenangan atau para bayi yang baru lahir di mana dibutuhkan tidur yang cukup dalam suasana yang tenang. Juga bagi para penganut kepercayaan yang pelaksanaan ritualnya dilakukan dengan meditasi pada waktu matahari terbenam atau menjelang fajar, jelas tidak akan fokus pada ritualnya.
Dan yang lebih penting sangat memerosotkan sifat-sifat Tuhan yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui sehingga memahami semua kehendak makhluk ciptaannya, walaupun masih dalam pikiran maupun perasaan.
Bagi yang ingin menyatakan keberatannya atas pelaksanaan ritual semacam itu akan terhenti pada lamunan saja. Sebab umumnya termasuk kelompok minoritas, bisa-bisa bahkan mendapat reaksi yang berakibat fatal.
Dimanapun dan kapan pun kelompok minoritas akan menjadi tumpuan kesalahan dan penderitaan, seperti motto yang mengatakan bahwa kebenaran adalah milik yang berkuasa. Semua sasaran, kritik apa lagi himbauan tidak akan digubris, yang diusahakan selalu bagaimana pengaruhnya semakin luas, kekuatannya semakin besar dan kekuasaannya semakin kuat. Untuk mencapai tujuannya semua bentuk rongrongan, rintangan maupun saingan harus digusur.
Bagi para ambisius yang tidak dapat menduduki jabatan yang diinginkan akan hengkang dan membuat kelompok baru. Meskipun program-programnya sama dengan kelompok lama hanya berganti istilah saja. Hanya karena melihat para pemimpin hidupnya serba enak hampir semua keinginannya terpenuhi dan seleranya terlampiaskan.
Jarang sekali pimpinan yang mengerti tugas seorang pemimpin. Kebanyakan karena kedudukannya didapat melalui pembelian-pembelian yang sangat mahal dan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar maka setelah tercapai kedudukannya hanya untuk mencari-cari dan menciptakan kesempatan guna mengeduk keuntungan.
Kondisi mental pimpinan yang demikian akan mendorong bawahan lebih parah lagi. Hal ini bisa sama-sama kita saksikan dengan ambruknya jembatan yang baru dibangun. Jebolnya bendungan karena tidak mampu menahan tambahan air. Runtuhnya gedung sekolah yang belum lama dibangun. Terbengkalainya proyek-proyek vital. Neraca usaha yang selalu rugi. Makin merosotnya nilai uang. Inflasi yang tak terkendali. Para orang tua yang tidak mampu membiayai pendidikan putra-putrinya. Semakin banyaknya orang-orang yang menderita stress atau menjadi gelandangan tunawisma juga tunakarya.
Di lain fihak bagi mereka yang bisa mencari dan menciptakan kesempatan untuk berbelanja sepatu dan kosmetik saja harus keluar negeri. Hanya menderita serangan batuk dan flu saja harus berobat keluar negeri. Tingkahnya melebihi cerita wayang lakon Petruk Dadi Ratu. Untung saja perutnya yang buncit bisa ditutupi dengan jaket atau baju luar yang tebal sehingga postur Petruknya agak tersamar.
Keadaan seperti di atas hampir terjadi secara mengglobal di seluruh belahan dunia apalagi yang sudah dilanda paham materialistis yang punya semboyan khas : elu-elu gue-gue. Dan berpedoman semua kegiatan harus menghasilkan keuntungan berupa materi. Kegiatan-kegiatan yang tidak menguntungkan bidang materi dianggap tidak berguna. Untuk mendapatkannya bahkan mau melakukan tindak-tindak kejahatan, sehingga di kota-kota besar banyak sekali terdapat geng-geng pembunuh bayaran, tukang pukul, tukang ngrusak usaha seseorang, tukang palak, tukang pungut dana keamanan, tukang jambret, tukang ngrampok, dan lain-lain yang sangat meresahkan masyarakat. Meskipun banyak yang mengalami babak belur diamuk masa keberadaannya masih saja tidak berkurang.
Yang sangat memprihatinkan pemalakan yang terjadi pada tukang semir sepatu atau tukang ngamen jalanan. Hasil kerjanya sehari penuh dan meskipun rumahnya jauh tidak mau naik kendaraan umum demi untuk memenuhi kebutuhan di rumah, kena palak. Menghiba-iba agar uang yang tidak seberapa tersebut tidak diminta semua bahkan kena pukul. Untuk jalan saja sudah sempoyongan dengan pukulan yang bersarang di pelipisnya, matanya menjadi berkunang-kunang, akhirnya limbung dan roboh tak sadarkan diri. Sedang yang di rumah menanti-nanti dengan harap-harap cemas.
Pada umumnya kejahatan-kejahatan dilakukan karena kurangnya sikap introspeksi, yang dalam istilah bahasa Jawa disebut tepa salira. Satu ungkapan dari kearifan lokal yang adiluhung. Karena dengan selalu bersikap tepa salira akan jarang membuat masalah juga terhindar dari berbagai masalah.
Akan selalu punya pendirian kalau tidak mau diganggu jangan mengganggu pihak lain, kalau tidak mau dirugikan jangan merugikan pihak lain, kalau tidak mau disakiti jangan menyakiti pihak lain. Kalau tidak mau disengsarakan jangan menyengsarakan pihak lain.
Seseorang yang punya rasa tepa salira akan mengerti bahwa tak seorang pun di dunia ini yang mau dirugikan. Baik dengan pikiran, perasaan, sikap, kata-kata maupun tindakan, sehingga apa saja yang dilakukan akan dipikir lebih dulu jangan sampai membuat pihak lain merasa dirugikan.
Karena ada ungkapan yang mengatakan : dalamnya laut bisa diduga, tetapi kemampuan seseorang siapa tahu? Mungkin saja tampaknya lemah, karena tidak suka pamer. Siapa tahu kalau tingkat evolusinya sudah tinggi, dan sudah dijaga penguasa-penguasa gaib nan agung, sehingga siapa yang mengganggunya akan mengalami kesialan.
Sehingga sikap seseorang pada orang lain seyogyanya adalah sikap berbaik hati, yang akan menghasilkan banyak keuntungan bagi dirinya maupun lingkungannya. Selain menjadi tampak simpatik juga membikin lingkungan atau keadaan menjadi nyaman ongkuh. Akan menciptakan suasana tenteram damai tanpa ketegangan maupun emosional, akan menarik getaran-getaran luhur dan akan memunculkan inspirasi-inspirasi bagi kesimpulan-kesimpulan yang bermanfaat. Tepat sekali ungkapan yang menyatakan bahwa damai itu indah.
Dalam pandangan sepintas kilas sering kita jumpai adanya seseorang yang tampak simpatik. Kesimpatikannya bahkan bisa mengubah keadaan diri si pemandang. Bisa menghilangkan rasa gundah gulana yang ada bahkan bisa menimbulkan rasa nyaman dan semangat baru yang sebelumnya terasa loyo.
Hal tersebut bisa terjadi karena yang dipandang adalah orang yang cinta damai, tenang, sehingga mampu menyerap getaran dan energi positif yang kalau sudah kuat akan memancar keluar mempengaruhi keadaan sekeliling, sehingga dari kenyataan di atas sebenarnya seseorang tidak perlu tampil glamour dengan busana mewah dan aksesoris yang mahal. Hal yang demikian bahkan akan menimbulkan kecemburuan sosial dan mengundang rasa sebal. Kalau ada rasa simpati hanyalah sekedar basa-basi.
Dengan ketegangan-ketegangan yang ada pada diri seseorang akibat banyaknya keinginan-keinginan atau diburu-buru rasa bersalah di masa lalu maka tidak akan mungkin untuk menarik simpati yang tulus.
Perilaku lain yang dapat membentuk kepribadian yang berkwalitas adalah aja dumeh, artinya jangan mentang-mentang.
Mentang-mentang punya kedudukan terhormat, jabatan tinggi, kaya raya, jadi orang pintar, perangainya berubah, suka menyepelekan pihak yang dianggap lebih rendah. Predikat yang disandangnya digunakan sebagai sarana untuk mengibuli, membodohi, memeras dan menyengsarakan pada mereka yang belum beruntung.
Bagi yang punya tepa salira akan selalu mengingat ungkapan aja dumeh ini, karena rasa dumeh akan banyak mendatangkan penderitaan bagi pihak lain melalui tingkah serakah, kejam, sombong, gila hormat dan lain-lain yang kesemuanya bertentangan dengan kodrat hidup yang sebenarnya. Bahwa kelebihan seseorang seharusnya dipakai guna meringankan beban dari pihak yang berkekurangan.
Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan yang bernuansa kearifan-kearifan lokal adi luhung yang dengan sistematis sedang dikikis habis agar tidak punya monumen-monumen sastra yang kokoh sebagai pedoman dan pemandu hidup dalam rangka menghancurkan jati diri suatu bangsa. Pada bangsa yang telah hancur jati dirinya dan tidak punya pedoman-pedoman hidup maka akan mudah dijarah kekayaannya lewat teknologi, ekonomi, mental maupun paham tertentu. Dengan semakin sempitnya lahan pencarian rejeki, maka banyak dari pihak yang sedang berkuasa atau dipercaya menggunakannya sebagai kesempatan untuk melampiaskan nafsu keserakahannya.
Jadi kalau ada kecenderungan untuk meneruskan pendidikan jaman kolonial yang kurang bermutu, dan pada era sekarang ditambah dengan biaya yang sangat tinggi bukanlah hal kebetulan. Dengan biaya layak tetapi bermutu, alumninya sulit untuk dibodohi.
Maka tepat sekali yang disinyalir oleh putra Sang Fajar bahwa pendidikan yang ada merupakan sarana untuk mencetak manusia-manusia bermental kuli, yang punya daya inisiatif dan kreatif terbatas. Setiap ada kesulitan selalu meminta petunjuk pada big boss. Meskipun petunjuk yang didapat mengakibatkan rusaknya tatanan dan memerosotkan harga diri bangsa.
Dikarenakan keenakan dengan selalu meminta petunjuk setiap kali menjumpai kesulitan, maka dari tingkatan manusia bermental kuli menjadi manusia bermental peminta-minta, yang akan mengikis habis cara berpikir kritis dan analistis. Yang hal ini akan menjadi penghalang bagi terciptanya karya-karya yang bermutu. Karena tidak tahu apa yang harus diperbuat, sehingga sebagai pribadi peranannya sangat minim. Pengembangan-pengembangan potensi dirinya sangat lambat. Tanpa adanya petunjuk kegiatan macet. Meskipun mengetahui banyak masalah yang harus ditangani. Dan kalau ada tugas-tugas mendesak yang harus diselesaikan dan menyebabkan kerugian sangat besar tindakan yang dilakukan saling lempar tanggung jawab. Dan paling digemari mencari kambing belang, karena tidak bisa menemukan kambing hitam.
Hal-hal seperti di atas tidak akan terjadi bila setiap insan punya peningkatan kesadaran bahwa kewajiban-kewajiban yang diemban merupakan salah satu bentuk kesempatan untuk memberikan sumbangsih kepada sesama hidup yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya agar kehadiran dirinya punya manfaat kepada makhluk lain dan kehadiran dirinya di dunia ini punya makna.
Untuk komunitas yang belum maju pada masalah spiritual dibutuhkan cara-cara kasar melalui intimidasi, ditakut-takuti kalau perlu dengan teror-teror mental untuk menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruk dan iming-iming adanya keadaan yang penuh kenikmatan setelah kematian, agar mau berbuat baik sehingga kadang-kadang sampai kebablasan dalam memberi pengarahan bahwa keadaan buruk maupun baik sesudah kematian bisa berlangsung untuk selamanya. Dan para pendengarnya banyak yang manggut-manggut agar dianggap mengerti terhadap uraian yang disampaikan.
Tidak menyadari bahwa dengan manggut-manggut kepala berarti telah menunjukkan kekurangpengertiannya. Sikap yang tepat sebetulnya adalah dengan mengajukan pertanyaan: Kalau hidup hanya paling lama seratus tahun, harus menderita selamanya sesudah kematian, apakah itu adil? atau dengan pertanyaan : Apakah keadaan yang demikian tidak bertolak belakang dengan sifat Sang Maha Pengasih dan Penyayang? ataukah ada maksud lain dari manggut-manggut tadi umpama saja agar si pembicara merasa puas dan berbangga diri bahwa uraiannya mendapat sambutan positif. Mungkin juga berpendapat apa ruginya sih membikin orang senang orang lain? Daripada mendapat stempel sebagai orang yang suka usil.
Pada kelompok ini yang masih menyukai getaran-getaran yang belum halus, masih memerlukan gerakan-gerakan tubuh dan suara-suara sebagai pendorong semangat dalam pelaksanaan ritual-ritualnya. Tidak mengingat bahwa suara-suara yang diperdengarkan melalui pengeras suara akan mengganggu mereka yang sedang sakit, membutuhkan banyak istirahat dan ketenangan atau para bayi yang baru lahir di mana dibutuhkan tidur yang cukup dalam suasana yang tenang. Juga bagi para penganut kepercayaan yang pelaksanaan ritualnya dilakukan dengan meditasi pada waktu matahari terbenam atau menjelang fajar, jelas tidak akan fokus pada ritualnya.
Dan yang lebih penting sangat memerosotkan sifat-sifat Tuhan yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui sehingga memahami semua kehendak makhluk ciptaannya, walaupun masih dalam pikiran maupun perasaan.
Bagi yang ingin menyatakan keberatannya atas pelaksanaan ritual semacam itu akan terhenti pada lamunan saja. Sebab umumnya termasuk kelompok minoritas, bisa-bisa bahkan mendapat reaksi yang berakibat fatal.
Dimanapun dan kapan pun kelompok minoritas akan menjadi tumpuan kesalahan dan penderitaan, seperti motto yang mengatakan bahwa kebenaran adalah milik yang berkuasa. Semua sasaran, kritik apa lagi himbauan tidak akan digubris, yang diusahakan selalu bagaimana pengaruhnya semakin luas, kekuatannya semakin besar dan kekuasaannya semakin kuat. Untuk mencapai tujuannya semua bentuk rongrongan, rintangan maupun saingan harus digusur.
Bagi para ambisius yang tidak dapat menduduki jabatan yang diinginkan akan hengkang dan membuat kelompok baru. Meskipun program-programnya sama dengan kelompok lama hanya berganti istilah saja. Hanya karena melihat para pemimpin hidupnya serba enak hampir semua keinginannya terpenuhi dan seleranya terlampiaskan.
Jarang sekali pimpinan yang mengerti tugas seorang pemimpin. Kebanyakan karena kedudukannya didapat melalui pembelian-pembelian yang sangat mahal dan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar maka setelah tercapai kedudukannya hanya untuk mencari-cari dan menciptakan kesempatan guna mengeduk keuntungan.
Kondisi mental pimpinan yang demikian akan mendorong bawahan lebih parah lagi. Hal ini bisa sama-sama kita saksikan dengan ambruknya jembatan yang baru dibangun. Jebolnya bendungan karena tidak mampu menahan tambahan air. Runtuhnya gedung sekolah yang belum lama dibangun. Terbengkalainya proyek-proyek vital. Neraca usaha yang selalu rugi. Makin merosotnya nilai uang. Inflasi yang tak terkendali. Para orang tua yang tidak mampu membiayai pendidikan putra-putrinya. Semakin banyaknya orang-orang yang menderita stress atau menjadi gelandangan tunawisma juga tunakarya.
Di lain fihak bagi mereka yang bisa mencari dan menciptakan kesempatan untuk berbelanja sepatu dan kosmetik saja harus keluar negeri. Hanya menderita serangan batuk dan flu saja harus berobat keluar negeri. Tingkahnya melebihi cerita wayang lakon Petruk Dadi Ratu. Untung saja perutnya yang buncit bisa ditutupi dengan jaket atau baju luar yang tebal sehingga postur Petruknya agak tersamar.
Keadaan seperti di atas hampir terjadi secara mengglobal di seluruh belahan dunia apalagi yang sudah dilanda paham materialistis yang punya semboyan khas : elu-elu gue-gue. Dan berpedoman semua kegiatan harus menghasilkan keuntungan berupa materi. Kegiatan-kegiatan yang tidak menguntungkan bidang materi dianggap tidak berguna. Untuk mendapatkannya bahkan mau melakukan tindak-tindak kejahatan, sehingga di kota-kota besar banyak sekali terdapat geng-geng pembunuh bayaran, tukang pukul, tukang ngrusak usaha seseorang, tukang palak, tukang pungut dana keamanan, tukang jambret, tukang ngrampok, dan lain-lain yang sangat meresahkan masyarakat. Meskipun banyak yang mengalami babak belur diamuk masa keberadaannya masih saja tidak berkurang.
Yang sangat memprihatinkan pemalakan yang terjadi pada tukang semir sepatu atau tukang ngamen jalanan. Hasil kerjanya sehari penuh dan meskipun rumahnya jauh tidak mau naik kendaraan umum demi untuk memenuhi kebutuhan di rumah, kena palak. Menghiba-iba agar uang yang tidak seberapa tersebut tidak diminta semua bahkan kena pukul. Untuk jalan saja sudah sempoyongan dengan pukulan yang bersarang di pelipisnya, matanya menjadi berkunang-kunang, akhirnya limbung dan roboh tak sadarkan diri. Sedang yang di rumah menanti-nanti dengan harap-harap cemas.
Pada umumnya kejahatan-kejahatan dilakukan karena kurangnya sikap introspeksi, yang dalam istilah bahasa Jawa disebut tepa salira. Satu ungkapan dari kearifan lokal yang adiluhung. Karena dengan selalu bersikap tepa salira akan jarang membuat masalah juga terhindar dari berbagai masalah.
Akan selalu punya pendirian kalau tidak mau diganggu jangan mengganggu pihak lain, kalau tidak mau dirugikan jangan merugikan pihak lain, kalau tidak mau disakiti jangan menyakiti pihak lain. Kalau tidak mau disengsarakan jangan menyengsarakan pihak lain.
Seseorang yang punya rasa tepa salira akan mengerti bahwa tak seorang pun di dunia ini yang mau dirugikan. Baik dengan pikiran, perasaan, sikap, kata-kata maupun tindakan, sehingga apa saja yang dilakukan akan dipikir lebih dulu jangan sampai membuat pihak lain merasa dirugikan.
Karena ada ungkapan yang mengatakan : dalamnya laut bisa diduga, tetapi kemampuan seseorang siapa tahu? Mungkin saja tampaknya lemah, karena tidak suka pamer. Siapa tahu kalau tingkat evolusinya sudah tinggi, dan sudah dijaga penguasa-penguasa gaib nan agung, sehingga siapa yang mengganggunya akan mengalami kesialan.
Sehingga sikap seseorang pada orang lain seyogyanya adalah sikap berbaik hati, yang akan menghasilkan banyak keuntungan bagi dirinya maupun lingkungannya. Selain menjadi tampak simpatik juga membikin lingkungan atau keadaan menjadi nyaman ongkuh. Akan menciptakan suasana tenteram damai tanpa ketegangan maupun emosional, akan menarik getaran-getaran luhur dan akan memunculkan inspirasi-inspirasi bagi kesimpulan-kesimpulan yang bermanfaat. Tepat sekali ungkapan yang menyatakan bahwa damai itu indah.
Dalam pandangan sepintas kilas sering kita jumpai adanya seseorang yang tampak simpatik. Kesimpatikannya bahkan bisa mengubah keadaan diri si pemandang. Bisa menghilangkan rasa gundah gulana yang ada bahkan bisa menimbulkan rasa nyaman dan semangat baru yang sebelumnya terasa loyo.
Hal tersebut bisa terjadi karena yang dipandang adalah orang yang cinta damai, tenang, sehingga mampu menyerap getaran dan energi positif yang kalau sudah kuat akan memancar keluar mempengaruhi keadaan sekeliling, sehingga dari kenyataan di atas sebenarnya seseorang tidak perlu tampil glamour dengan busana mewah dan aksesoris yang mahal. Hal yang demikian bahkan akan menimbulkan kecemburuan sosial dan mengundang rasa sebal. Kalau ada rasa simpati hanyalah sekedar basa-basi.
Dengan ketegangan-ketegangan yang ada pada diri seseorang akibat banyaknya keinginan-keinginan atau diburu-buru rasa bersalah di masa lalu maka tidak akan mungkin untuk menarik simpati yang tulus.
Perilaku lain yang dapat membentuk kepribadian yang berkwalitas adalah aja dumeh, artinya jangan mentang-mentang.
Mentang-mentang punya kedudukan terhormat, jabatan tinggi, kaya raya, jadi orang pintar, perangainya berubah, suka menyepelekan pihak yang dianggap lebih rendah. Predikat yang disandangnya digunakan sebagai sarana untuk mengibuli, membodohi, memeras dan menyengsarakan pada mereka yang belum beruntung.
Bagi yang punya tepa salira akan selalu mengingat ungkapan aja dumeh ini, karena rasa dumeh akan banyak mendatangkan penderitaan bagi pihak lain melalui tingkah serakah, kejam, sombong, gila hormat dan lain-lain yang kesemuanya bertentangan dengan kodrat hidup yang sebenarnya. Bahwa kelebihan seseorang seharusnya dipakai guna meringankan beban dari pihak yang berkekurangan.
Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan yang bernuansa kearifan-kearifan lokal adi luhung yang dengan sistematis sedang dikikis habis agar tidak punya monumen-monumen sastra yang kokoh sebagai pedoman dan pemandu hidup dalam rangka menghancurkan jati diri suatu bangsa. Pada bangsa yang telah hancur jati dirinya dan tidak punya pedoman-pedoman hidup maka akan mudah dijarah kekayaannya lewat teknologi, ekonomi, mental maupun paham tertentu. Dengan semakin sempitnya lahan pencarian rejeki, maka banyak dari pihak yang sedang berkuasa atau dipercaya menggunakannya sebagai kesempatan untuk melampiaskan nafsu keserakahannya.
Jadi kalau ada kecenderungan untuk meneruskan pendidikan jaman kolonial yang kurang bermutu, dan pada era sekarang ditambah dengan biaya yang sangat tinggi bukanlah hal kebetulan. Dengan biaya layak tetapi bermutu, alumninya sulit untuk dibodohi.
Maka tepat sekali yang disinyalir oleh putra Sang Fajar bahwa pendidikan yang ada merupakan sarana untuk mencetak manusia-manusia bermental kuli, yang punya daya inisiatif dan kreatif terbatas. Setiap ada kesulitan selalu meminta petunjuk pada big boss. Meskipun petunjuk yang didapat mengakibatkan rusaknya tatanan dan memerosotkan harga diri bangsa.
Dikarenakan keenakan dengan selalu meminta petunjuk setiap kali menjumpai kesulitan, maka dari tingkatan manusia bermental kuli menjadi manusia bermental peminta-minta, yang akan mengikis habis cara berpikir kritis dan analistis. Yang hal ini akan menjadi penghalang bagi terciptanya karya-karya yang bermutu. Karena tidak tahu apa yang harus diperbuat, sehingga sebagai pribadi peranannya sangat minim. Pengembangan-pengembangan potensi dirinya sangat lambat. Tanpa adanya petunjuk kegiatan macet. Meskipun mengetahui banyak masalah yang harus ditangani. Dan kalau ada tugas-tugas mendesak yang harus diselesaikan dan menyebabkan kerugian sangat besar tindakan yang dilakukan saling lempar tanggung jawab. Dan paling digemari mencari kambing belang, karena tidak bisa menemukan kambing hitam.
Hal-hal seperti di atas tidak akan terjadi bila setiap insan punya peningkatan kesadaran bahwa kewajiban-kewajiban yang diemban merupakan salah satu bentuk kesempatan untuk memberikan sumbangsih kepada sesama hidup yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya agar kehadiran dirinya punya manfaat kepada makhluk lain dan kehadiran dirinya di dunia ini punya makna.
0 komentar:
Posting Komentar