Hidup Merupakan Sarana Untuk Menebar Benih-benih Kebajikan

Selagi kita masih hidup pasti akan menjumpai bermacam-macam problem baik berat maupun ringan. Semakin besar tanggung jawab seseorang semakin besar dan banyak problem yang dihadapi yang perlu diselesaikan. Cara penyelesaian problem-problem inilah yang akan berpengaruh besar terhadap cepat lambatnya kemajuan-kemajuan yang akan dicapai seseorang. Akan diselesaikan secara kejam, licik, serampangan, santun bijaksana ataukah mau dibiarkan terbengkalai.
Dari cara penyelesaian tersebut akan terbentuk suatu gambaran atau kesan sampai seberapa besar mutu atau kemampuan seseorang. Termasuk kelas bawah, menengah ataukah kelas atas. Dari image tersebut seseorang akan berwibawa, simpatik, ataukah menyebalkan.
Memang salah satu sifat manusia adalah pelupa. Lupa bahwa dirinya punya hak untuk menilai tetapi juga punya hak untuk menerima penilaian. Dan tidak ingat bahwa untuk mendapat nilai seratus harus mau berkorban.
Pengorbanan berupa selalu kontrol terhadap pikirannya, bicaranya, sikapnya dan tindakannya. Harus bisa mengendalikan diri terhadap hasrat mendapat kepuasan sesaat, yang menyakiti pihak lain karena pembicaraan, sikap maupun tindakannya, yang lepas kontrol dan akan menjadi kenangan pahit sepanjang hidupnya, bagi yang terkena sasaran.
Kita juga sering lupa pula bahwa kekalahan seseorang kadang-kadang sengaja untuk mengalah demi menjaga agar situasi tidak lebih memanas. Kemungkinan juga memahami tindakan si penyerang sedang dihimpit berbagai masalah yang membikin kolaps, dan meledak karena ada situasi yang mendukung.
Baru nanti pada saat tertentu dalam kesendirian dan suasana tenang biasanya kesadaran akan muncul bahwa perilakunya ternyata tidak bisa menyelesaikan masalah. Bahkan masalahnya jadi semakin meluas. Dan menyadari pula bahwa tidak seharusnya dalam menyelesaikan suatu masalah menggunakan cara-cara yang kurang santun pada seseorang yang khilaf akibat otaknya sudah terlalu capai digunakan berpikir untuk mengatasi berbagai masalah. Dan betapa sedih kalau orang tuanya mendapat perlakuan demikian untuk orang yang masih normal dalam lubuk hatinya yang paling dalam akan menyesali kekeliruan-kekeliruannya. Karena manusia berasal dari sumber yang maha baik pasti akan punya unsur-unsur baik. Biasanya karena pengaruh ambisi di bidang gengsi, harga diri, kehormatan, popularitas yang sering dilakukan secara berlebihan akhirnya justru menjauhkan dirinya atau membuka kedok maupun belang yang selama ini ditutup-tutupinya, secara kurang cermat.
Karena kekurangcermatannya maka bisa terjadi salah simpul dalam menganalisis masalah yang dihadapi. Apalagi kalau ambisi dan emosi ikut nimbrung maka akan mengakibatkan tindakan yang kurang pas. Dengan memahami sebab-sebab dari suatu ketidakwajaran seseorang akan bisa bertindak arif dan bertambah cerdas, juga akan mampu mengendalikan emosinya. Kecuali kalau tindakannya sudah sangat membahayakan. Tetapi kalau masih dalam batas normal sikap yang bijak dalam menghadapi suatu ketidakwajaran adalah memaklumi dan mencari sebab-sebabnya. Siapa tahu kalau mengerti sebab-sebabnya kedongkolannya bisa berubah menjadi keprihatinan.
Penyebab masalah memang sangat beragam, berat dan pelik. Setelah diciptakannya era materialistis yang melanda dunia dengan produk-produk canggih oleh para pemodal raksasa dapat merangsang kepuasan nafsu-nafsu indriawi oleh hampir seluruh masyarakat seperti diproduksinya komputer, internet, hp. Kalau dipandang dari kebutuhan keduniawian memang punya manfaat yang luar biasa, tetapi ekses negatifnya juga sangat terasa pada jaman sekarang, yang dengan akal bulus dari pemilik modal raksasa diistilahkan dengan era globalisasi. Dalam membentuk insan-insan yang berwatak materialistis, konsumtif dan individualistis.
Karena watak manusia memang selalu menghendaki untuk menambah segalanya yang sudah diperoleh. Termasuk kepuasan-kepuasannya, yang hal ini merupakan kesempatan bagi para pemilik modal untuk lebih berjibun lagi dalam menimbun kekayaan. Dengan memaksa para konsumtif untuk merogoh kantongnya lebih dalam guna mendapatkan kepuasan-kepuasan baru yang lebih menggairahkan, sehingga pikirannya selalu ditujukan pada penimbunan materi-materi.
Dengan banyaknya materi yang ditimbun merasa gengsinya lebih meningkat. Penampilan glamour didukung kendaraan mewah, finansial yang memungkinkan untuk membayar tanpa menawar mengakibatkan dirinya merasa menjadi segalanya.
Sebagian sikap kita mendukung tingkah mereka. Meskipun kadang-kadang juga merasa sebal bahkan muak dengan tingkah mereka yang arogan dan tidak tahu diri.
Tetapi perasaan tersebut terpaksa harus dibungkus dan disimpan dengan rapi jangan sampai sandiwara tersebut dimengerti oleh para rang kayo tersebut. Kalau sikap kita tampak menaruh kecurigaan atau antipati bisa-bisa kita kerap kali kehilangan kesempatan untuk menikmati santapan yang bagi kita hanya impian.
Biasanya para OKB ini sering mengadakan syukuran atau hajatan lain untuk merayakan kenaikan pangkat, lulus dalam suatu testing, diangkat menjadi pejabat, dan lain-lain di lingkungan keluarganya sekalian mencari simpati terhadap lingkungannya.
Meskipun tetap saja ada perbedaan sikap dari tuan rumah dalam menyambut para tamunya. Bagi tamu yang berdandan menyala, dengan kendaraan mewah akan disambut dengan tertawa-tawa meskipun ada tampak dibuat-buat. Pada tamu dengan mobil agak butut cukup dengan senyum, yang sepeda motor sambutannya mulai agak dingin. Bagi pengendara sepeda onthel biasa nampak ada penyesalan pada sambutannya.
Penilaian terhadap seseorang tergantung pada sebanyak mana harta yang dia punya, sehingga ada kecenderungan bahwa untuk dihormati keberadaannya, harus berusaha untuk menumpuk harta sebanyak mungkin. Semakin mewah penampilan, semakin besar kehormatan yang didapat.
Sehingga penumpukan harta menjadi perlombaan yang sangat seru. Dari dengan cara meminta-minta termasuk memakai alasan untuk sumbangan, merampas, merampok, membunuh dan cara-cara lain yang mencerminkan rasa tidak tahu malu juga tidak punya kepedulian pada sesama hidup.
Dengan menempatkan materi dan keduniawian di atas segalanya maka masalah-masalah lain jadi terbengkalai karena tidak dapat memenuhi selera panca indra, sehingga dianggap tidak bermanfaat.
Kalau keadaan demikian dibiarkan terus menerus pasti akan memporak porandakan seluruh tatanan hidup. Dengan digalakkannya era globalisasi yang merupakan istilah yang hampir sejajar dengan era materialistis, di mana tolak ukur segala sesuatu dari kepuasan indriawi maka masalah-masalah moral seperti kehangatan keluarga, akrabnya suatu persahabatan, tenggang rasa, saling peduli akan menjadi terabaikan.
Yang dikejar-kejar kepentingan dan kepuasan dirinya saja. Kehidupan yang demikian akan terlalu melelahkan. Karena akan banyak menyita waktu dan energi. Tidak punya waktu untuk saling curhat, atau bercengkrama dengan anggota keluarga, yang merupakan salah satu cara untuk menghilangkan stress atau emosi yang tak terkendali, dan memberi kesempatan terhadap tenaga juga pikiran untuk beristirahat, jangan sampai kelelahan tersebut dibawa serta menemani saat tidur.
Di samping itu kehidupan individualistis juga mengabaikan tugas hidup dan kesempatan yang sangat berharga yaitu menebar kebajikan yang akan tumbuh dan berkembang berbunga akhirnya akan berbuah berupa kesenangan maupun kebahagiaan sesuai kwantitas maupun kwalitas dari benih yang ditabur.
Hukum hidup inilah yang sering dilupakan oleh sebagian besar umat manusia. Pengertiannya terhadap sifat-sifat Tuhan Yang Maha Kasih, Maha Adil dan Bijaksana, yang dihayati Maha Kasih dan Maha Bijaksananya saja. Maha Adilnya diterlantarkan. Akhirnya terjadi kesalahpahaman bahwa Tuhan adalah suatu sosok tempat meminta-minta.
Dan agar permintaannya dikabulkan banyak yang menyuap-Nya dengan puji-pujian, pengorbanan, saji-sajian, bahkan dengan penyembelihan hewan-hewan. Kalau dengan pengorbanan-pengorbanan yang ada kesenangan yang didapat masih kurang yang menjadi pilihannya menjurus pada tindak kejahatan, yang kadarnya tergantung pada nyali yang dipunyainya.
Tidak mengingat bahwa kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus akan membentuk watak. Watak peminta-minta akan membentuk watak serakah dan tidak tahu malu, yang merupakan sumber dari segala kejahatan tetapi sering luput dari pengamatan.
Dengan memperhatikan gejala-gejala kehidupan yang terjadi pada diri sendiri maupun yang terjadi pada lingkungan yang lebih luas maka mau tidak mau otak akan dirangsang untuk lebih aktif berpikir. Minimal akan merangkai suatu peristiwa dengan kejadian-kejadian sebelumnya maupun sesudahnya.
Misalnya saja, setiap dirinya melakukan hal-hal yang merugikan orang lain beberapa waktu kemudian akan menderita kerugian yang sangat besar. Atau yang terjadi pada tetangganya yang sering mengambil milik orang lain meskipun tidak ketahuan tetapi kehidupan keluarganya berantakan.
Dan kalau mau lebih jelas lagi perhatiannya terhadap kehidupan hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, mineral, apalagi terhadap alam semesta yang terbentang dengan segala isinya. Peredaran bumi-bulan-bintang-bintang dengan matahari yang selalu memancarkan sinar kehidupan maka pikiran menjadi lebih cerdas, perasaan lebih peka, wawasan lebih luas, dan kesadaran menjadi bertambah meningkat. Tentang adanya suatu kekuasaan yang sangat besar sebagai pencipta dan pengatur dari segala yang ada di alam semesta ini. Yang menghendaki keharmonisan pada segala aspek dengan cara masing-masing melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya tanpa menyimpang dari ketentuan yang ada sehingga tidak terjadi benturan dengan kepentingan yang lain.
Dengan melaksanakan tugas masing-masing sebaik-baiknya yang sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya maka akan tercipta suasana yang kondusif sebab masing-masing akan fokus pada tugasnya, dan akan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul. Dan dalam suasana yang kondusif akan bermunculan prestasi-prestasi yang patut dibanggakan.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.